Nominee Arrangement (pinjam nama) dalam praktik sehari-hari
adalah penggunaan nama seseorang Warga Negara Indonesia sebagai pemegang
saham suatu PT Indonesia atau sebagai salah seorang persero dalam suatu
Perseroan Komanditer. Atau lebih jauh lagi, penggunaan nama tersebut
sebagai salah satu pemilik tanah dengan status hak milik atau Hak Guna
Bangunan di Indonesia. Jadi praktik nominee arrangement tersebut tidak
hanya berkaitan dengan penggunaan nama sebagai pemegang saham dalam PT
Indonesia, melainkan sampai dengan penggunaan nama dalam pemilikan suatu
property di Indonesia, yang sangat marak terjadi terutama di Bali.
Diakui atau tidak, banyak sebenarnya tanah-tanah di Bali yang dimiliki
oleh orang asing, walaupun apabila di cek di kantor pertanahan setempat,
terdaftar atas nama WNI. Hal ini terjadi karena adanya asas larangan pengasingan tanah (gronds verponding verbood)
yang dianut dalam hukum tanah di Indonesia; yang melarang kepemilikan
tanah dengan hak selain hak pakai untuk dimiliki oleh Warga Negara
Asing.
Dalam praktik, penggunaan nama warga Negara Indonesia tersebut juga
sering dilakukan dengan cara mengatas namakan saham-saham ataupun
tanah/property di Indonesia tersebut yang sebenarnya adalah milik Warga
Negara Asing, ke atas nama isterinya yang berkewarganegaraan Indonesia.
Atau di atas namakan ke atas nama orang kepercayaannya, dan sebagai
“pengaman” bagi WNA tersebut, pihak WNI yang namanya digunakan sebagai
orang yang secara hukum “memiliki” saham-saham atau tanah/property
tersebut menanda-tangani surat pernyataan pengakuan bahwa saham-saham
ataupun tanah/property tersebut bukanlah miliknya, dan namanya hanya
“dipinjam”.
Sejak berlakunya UU RI No. 25 tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dan
UU RI No. 40 tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas praktik nominee
arrangement tersebut DILARANG. Dalam Pasal 33 ayat 1 dan 2 UU No. 25
tahun 2007 disebutkan adanya sanksi berkaitan dengan praktik nominee
arrangement, yang dinyatakan sebagai berikut:
(1) Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman
modal dalam bentuk perseroan terbatas dilarang membuat perjanjian
dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam
perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain.
(2) Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing membuat perjanjian
dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum.
Dengan adanya larangan untuk melakukan praktik nominee arrangement
(pinjam nama), maka konsekwensinya adalah: setiap penggunaan nama WNI
sebagai pemilik dari sebuah property ataupun saham-saham di Indonesia,
dianggap sebagai pemilik yang sah. Karena sebagaimana dinyatakan dalam
pasal 48 ayat 1 UU RI No. 40 tahun 2007, maka: ”Saham Perseroan
dikeluarkan atas nama pemiliknya”.
Dengan demikian, maka walaupun dibuat suatu “counter document” berupa
akta Pernyataan atau Akta Pengakuan dan Kuasa” yang menyatakan bahwa
sebenarnya si WNI tersebut hanyalah “seolah-olah pemilik” dari
saham-saham dimaksud, dan melakukannya atas nama si WNA tersebut, maka
yang diakui sebagai pemilik sah di mata hukum tetaplah si WNI dimaksud.
Karena “counter document” tersebut dinyatakan batal demi hukum
sebagaimana ditegaskan dalam pasal 33 ayat 2 tersebut di atas.
Jadi bagaimana dong kalau ada orang asing ingin masuk ke dalam PT Indonesia?
Pernah juga terlintas dalam pikiran saya dan saya sampaikan kepada
WNA tersebut, bahwa apabila di negaranya praktik nominee arrangement
tersebut tidak dilarang menurut hukum negaranya, maka agar sekedar ada
suatu bukti yang menyatakan bahwa saham tersebut adalah milik WNA
dimaksud, maka Surat Pernyataan bahwa saham tersebut milik si WNA,
dibuat menurut hokum di Negara asal WNA dimaksud. Namun untuk itu, harus
ditanyakan kepada lawyer yang ia percaya. Namun saya lebih yakin dan
selalu menyarankan ada baiknya melalui prosedur resmi, yaitu merubah
status PT tersebut menjadi PT PMA. Atau mendirikan PT PMA baru.
Bagaimana dengan akta pengakuan dan kuasa ataupun
surat pernyataan yang diatur sehubungan dengan kepemilikan atas
tanah/property?
Memang Pasal 33 ayat 1 dan ayat 2 tersebut hanyalah berlaku pada
kepemilikan atas saham. Dan sepanjang yang saya ketahui, belum ada
peraturan yang secara tegas mengatur larangan mengenai praktik nominee
arrangement sehubungan dengan kepemilikan atas tanah/property di
Indonesia. Namun demikian, perlu saya sampaikan agar pihak-pihak yang
melakukan praktik nominee arrangement atas tanah (hal mana sering
dianjurkan bahkan oleh para lawyer mereka), baiknya waspada dan
berhati-hati dalam menetapkan seseorang yang menjadi “kepercayaan”
dengan menggunakan nama mereka sebagai nama yang dipinjam. Hal ini
karena sudah sering terjadi pihak yang namanya digunakan sebagai pemilik
dari suatu tanah/property dikemudian hari melakukan pengingkaran dengan
cara menjual langsung ataupun menggadaikan tanah tersebut kepada
orang/pihak lain. Karena secara hokum, yang bersangkutan memang berhak
untuk mengalihkan property/tanah tersebut.
Hal lain yang perlu diwaspadai dalam praktik nominee arrangement
untuk tanah/property adalah: dalam hal orang yang namanya “dipinjam”
tersebut telah meninggal dunia. Maka tentunya secara hukum tanah
tersebut termasuk dalam boedel waris dari almarhum. Pernyataan dari
almarhum dalam praktiknya tidak serta merta dapat digunakan sebagai
dasar untuk dilakukannya balik nama kepada orang yang ditunjuk oleh
“pemilik asal”. Melainkan harus tetap melalui persetujuan dan
tanda-tangan dari seluruh ahli waris dengan menanda-tangani sebuah akta
pengalihan (baik itu akta jual beli atau akta hibah) yang dibuat di
hadapan PPAT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar